Artikel | DETaK
Ketegangan antara Iran dan Israel akhir-akhir ini semakin memanas dan telah memasuki babak konfrontasi terbuka yang intens. Awal bulan ini, tepatnya pada 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangkaian serangan udara terhadap berbagai target di wilayah Iran termasuk fasilitas nuklir seperti Natanz dan Fordow, serta infrastruktur militer penting dan sejumlah tokoh komandan militer terkenal Iran. Balasan yang dilancarkan Iran tak kalah hebat, mencakup serangan rudal balistik dan drone ke wilayah Israel, menyebabkan kerusakan signifikan serta korban sipil.
Keterlibatan Amerika Serikat dan Respon Internasional

Pada 22 Juni 2025, Amerika Serikat secara langsung bergabung dalam konflik dengan melakukan serangan udara besar-besaran pada tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan menggunakan bom penembus bunker dan rudal presisi. Presiden AS Trump menyatakan serangan sebagai “sukses spektakuler,” tetapi Iran menyebutnya sebagai “kejahatan keji” dan sebuah “pelanggaran garis merah”.
Kepemimpinan global ramai memberikan tanggapan. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyebutkan bahwa terdapat “risiko eskalasi” signifikan jika konflik terus berkepanjangan dan menyerukan kembalinya diplomasi. Seraya itu, Rusia mengecam keras intervensi AS, memperingatkan bahwa dunia sekarang “hampir berada di ambang bencana nuklir”.
Akar Kekhawatiran: Nuklir, Proxy, dan Energi Global
Kesimpangsiuran nuklir menjadi salah satu isu paling menakutkan. Iran telah meningkatkan pengayaan uranium hingga sekitar 60% kemajuan besar terhadap ambisi nuklirnya. Serangan Israel dan AS justru bisa membuat Iran semakin keras dan memicu percepatan program nuklir sebagai langkah bertahan. International Atomic Energy Agency (IAEA) mengonfirmasi Iran tidak melepas kontrol penuh atas lokasinya, sehingga kemungkinan “reaksi nuklir parsial” bukan isapan jempol.
Sementara itu, kekhawatiran soal keterlibatan proxy juga nyata. Iran masih memiliki jaringan kelompok milisi seperti Hamas, Hezbollah, milisi Irak, serta Houthi di Yaman. Meskipun beberapa di antaranya sudah melemah akibat serangan Israel sebelumnya, potensi serangan balasan atau destabilisasi kawasan masih besar.
Konflik ini juga berpotensi mengganggu pasokan energi global, mengingat Iran menguasai wilayah sekitar Selat Hormuz jalur kunci ekspor minyak dunia . Serangan terhadap fasilitas gas dan minyak juga telah terjadi, yang memicu lonjakan harga energi dan ketidakpastian pasar.
Peluang dan Batasan Eskalasi Global
Beberapa analis menegaskan bahwa, meski konflik ini panas, kemungkinan langsung memicu Perang Dunia III masih rendah. Raz Zimmt, direktur program Iran di Tel Aviv University, menyatakan Iran kemungkinan memilih “reaksi simbolis” seperti menyerang pasukan AS di Teluk, bukan langsung membabi buta ke pasukan Amerika, Dia menambahkan, Teheran lebih berminat bertahan daripada melibatkan superpower dalam konflik skala penuh.
Namun, ada juga pandangan serius yang menyebut bahwa konflik ini sudah menyerupai eskalasi global. Atlantic Council menyebut ini sebagai “fase pergeseran” dari peperangan bayangan ke konfrontasi langsung melibatkan udara, rudal, proxy, dan diplomasi nuklir. The Economist Times juga memperingatkan bahwa keterkaitan antara Iran, Rusia, China (yang menentang Israel), dan dukungan AS serta NATO untuk Israel, bisa menimbulkan semacam “Perang Dingin baru” atau bahkan memantik perang global jika terjadi kesalahan besar.
Risiko Lintas Kanal: Nuklir dan Cyber?
Kekacauan ini juga membuka pintu bagi senjata tak konvensional. Financial Times dan lembaga penelitian lainnya memperingatkan potensi penggunaan senjata kimia, biologi, atau bahkan rudal ‘kotor’ dari pihak Iran, jika situasi dianggap mendesak dan tidak bisa ditoleransi.
Sedangkan kemungkinan serangan siber besar terhadap infrastruktur kritis Israel, AS, atau negara-negara Teluk juga bukan imajinasi. Iran dikenal jago dalam pertempuran dunia maya, dan sudah memiliki kredensial untuk melancarkan cyber-attacks jika tekanan meningkat.
Antara Diplomasi dan Kemungkinan berbahaya konflik Iran Israel kini telah melewati batas peperangan regional. Keterlibatan langsung AS dan tekanan global menunjukkan satu hal jelas: risiko Perang Dunia III tidak bisa diabaikan sepenuhnya. Namun, kedua belah pihak Iran dan Israel mereka dan sekutunya tampaknya masih menghindari risiko konfrontasi penuh dengan kekuatan nuklir.
Langkah diplomatik segera sangat dibutuhkan. Sejumlah negara (seperti Inggris, Prancis, dan Rusia) sudah menyerukan de-eskalasi dan kembali ke meja perundingan. Tetapi akankah tekanan tersebut cukup menghindarkan dunia dari konflik global hingga kini masih jadi pertanyaan besar.
Penulis bernama Amanda Tasya, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Nasywa Nayyara Tsany