Artikel | DETaK
Di era digital yang semakin berkembang, fenomena echo chamber menjadi salah satu isu yang meresahkan. Echo chamber merujuk pada kondisi di mana individu hanya terpapar pada informasi, pandangan, atau opini yang sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri, sehingga memperkuat bias dan mengurangi kemungkinan terpapar perspektif yang berbeda. Fenomena ini banyak ditemukan dalam ruang digital seperti media sosial, forum daring, dan grup percakapan yang mengandalkan algoritma untuk menyesuaikan konten dengan preferensi penggunanya.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan munculnya echo chamber adalah algoritma media sosial. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menggunakan sistem yang memprioritaskan konten yang sesuai dengan minat pengguna berdasarkan riwayat pencarian dan interaksi mereka. Akibatnya, pengguna cenderung hanya mendapatkan informasi yang mendukung sudut pandang mereka sendiri tanpa mereka sadari. Hal ini semakin diperparah dengan kecenderungan manusia untuk mencari informasi yang memperkuat opini mereka (confirmation bias), sehingga mereka enggan mengeksplorasi perspektif yang berbeda.

Dampak dari echo chamber sangat luas dan bisa berbahaya bagi masyarakat. Salah satu dampaknya adalah polarisasi sosial dan politik. Dengan hanya mengonsumsi informasi dari satu sudut pandang, individu cenderung semakin ekstrem dalam keyakinannya, yang pada akhirnya memperuncing perpecahan di dalam masyarakat. Contoh nyata dari dampak ini dapat dilihat dalam perdebatan politik di berbagai negara, di mana kelompok-kelompok yang berbeda saling menolak untuk mendengarkan pendapat pihak lain, bahkan sampai pada titik penyebaran ujaran kebencian dan hoaks. Fenomena masyrakat yang semakin bias terhadap suatu peristiwa tanpa adanya perbandingan statement membuat echo chamber semakin meruak keberadaannya dan mengkhawatirkan.
Kasus lain yang merupakan dampak dari echo chamber ini adalah maraknya para influencer yang berpacaran dengan kaum minor sedangkan mereka sudah ditahap usia yang matang. Bagi beberapa fans hal ini merupakan sesuatu yang wajar dikalangan anak muda yang saling jatuh cinta, tanpa mereka sadari yang menjadi topik utama adalah kaum minor atau anak dibawah umur yang mereka agung-agungkan kisah asmaranya. Dan apabila dikritik mereka akan memberikan pembelaan bahwa hal ini adalah sesuatu yang biasa karena keduanya saling jatuh cinta, tapi tidak memikirkan bahwa hal ini masuk kedalam kasus child grooming yang dimana korbannya kebanyakan kaum wanita dibawah umur. Hal ini diakibatkan banyak dari masyarakat yang melihat konten atau tayangan yang mengatakan bahwa merupakan sebuah kebebasan dalam mencintai siapa saja tidak peduli berapapun usianya.
Ketika diberikan edukasi dan kesadaran mereka menolak karena kebanyakan dari echo chamber ini adalah masyarakat yang setuju dan ada dalam satu lingkungan dan sepemikiran, bias dan tidak mau mendengar pendapat yang benar sekalipun. Karena dirasa pendapat mereka yang paling tepat karena sama dan sejalan.
Selain itu, echo chamber juga berkontribusi terhadap penyebaran misinformasi dan disinformasi. Ketika suatu kelompok hanya berinteraksi dengan informasi yang mendukung pandangan mereka, mereka lebih rentan terhadap berita palsu yang menguatkan keyakinan tersebut. Hal ini semakin diperburuk oleh kurangnya literasi digital di kalangan masyarakat, sehingga mereka sulit membedakan mana informasi yang valid dan mana yang sekadar propaganda atau manipulasi.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya dari berbagai pihak. Individu perlu meningkatkan literasi digital mereka dengan cara memperbanyak sumber bacaan dari berbagai perspektif, bersikap kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi, serta terbuka terhadap perbedaan pendapat. Selain itu, platform media sosial juga memiliki tanggung jawab dalam mengurangi dampak echo chamber dengan mengembangkan algoritma yang lebih berimbang serta menyediakan fitur-fitur yang mendorong interaksi lintas perspektif.
Pada akhirnya, fenomena echo chamber merupakan tantangan besar dalam era digital saat ini. Jika dibiarkan tanpa ada upaya untuk mengatasinya, dampaknya bisa semakin merusak tatanan sosial dan demokrasi. Oleh karena itu, kesadaran akan bahaya echo chamber dan langkah-langkah konkret untuk menghadapinya sangat diperlukan agar masyarakat dapat tetap berpikir kritis dan terbuka terhadap keberagaman pandangan.
Penulis bernama Amanda Tasya, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala
Editor: Sara Salsabila