Artikel | DETaK
Hamparan gurun yang dulu hanya dilintasi kafilah unta, kini menjelma menjadi panggung megah dunia. Gedung gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan raksasa, hingga museum futuristik berdiri berdampingan dengan padang pasir yang tetap memeluk sejarahnya. Uni Emirat Arab (UEA) bukan lagi hanya titik kecil di peta Timur Tengah, tapi telah menjadi poros baru dalam peta pariwisata global.
Bukan tanpa alasan. Laporan terbaru dari World Tourism Organization (UNWTO) dan Travel and Tour World pada pertengahan 2025 menempatkan UEA sebagai enam besar destinasi wisata dengan pengeluaran wisatawan internasional tertinggi di dunia. Posisinya kini melampaui pusat-pusat pariwisata klasik seperti Inggris, Italia, Jerman, dan Australia. Bukan sekadar angka, ini adalah sinyal kuat bahwa peta industri pariwisata dunia sedang bergeser. Sebuah negara yang dulunya bergantung pada hasil bumi, kini menjadi magnet wisatawan dari berbagai penjuru dunia.

Dari Gurun ke Pusat Dunia
UEA paham betul bahwa minyak bukan warisan yang abadi. Di balik kekayaan migas yang menjadi fondasi awal, mereka membaca masa depan dengan cermat. Maka sejak awal 2000-an strategi diversifikasi ekonomi dijalankan besar-besaran menjadikan pariwisata menjadi ujung tombak. Dubai, Abu Dhabi, dan beberapa emirat lainnya mulai berubah. Padang pasir bukan lagi keterbatasan, melainkan menjadi kanvas raksasa tempat mereka melukis ambisi. Di sinilah berdiri Palm Jumeirah, pulau buatan terbesar yang bahkan terlihat dari luar angkasa. Burj Khalifa yang merupakan menara tertinggi di dunia, bukan hanya monumen arsitektur tapi juga simbol bagaimana negara ini berdiri menantang gravitasi dan batas-batas konvensional.
Angka yang Berbicara
Data terbaru UNWTO menunjukkan, sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025, UEA mencatatkan pertumbuhan pengeluaran wisatawan internasional sebesar 17,8%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 9,3%.
Sementara itu, kunjungan wisatawan ke Dubai saja menyentuh angka 19,5 juta wisatawan internasional, mengalahkan London dan Roma. Belanja wisata per orang di UEA mencapai rata-rata USD 1.560, jauh di atas rata-rata negara-negara Eropa.
Apa yang Membuat UEA Berbeda?
- Mengemas Masa Depan
UEA tidak menjual sejarah panjang seperti Eropa. Mereka menjual masa depan. Museum of the Future bukan hanya bangunan indah, tetapi representasi nyata tentang cara mereka memandang waktu ke depan, bukan ke belakang. - Menjual Gurun Sebagai Mewah Baru
Di tempat lain, gurun mungkin hanya jadi destinasi petualangan biasa. Di UEA, gurun dikemas sebagai bagian dari kemewahan. Safari gurun dengan mobil 4×4, dinner di tengah hamparan pasir, sandboarding, hingga falconry show menjadi pengalaman kelas atas. - Akses Global Tanpa Batas
Dubai International Airport (DXB) kini menjadi bandara tersibuk ketiga di dunia untuk penerbangan internasional. UEA menawarkan bebas visa untuk puluhan negara, konektivitas tinggi, dan pelayanan wisata yang tidak main-main. - Branding yang Cerdas
Kampanye wisata UEA tidak tanggung-tanggung. Dari Expo 2020, Formula 1, hingga konser kelas dunia. Mereka memastikan bahwa UEA selalu ada di dalam percakapan global.
Bergesernya Wajah Wisata Dunia
UEA memanfaatkan celah di mana generasi wisatawan baru lebih mendambakan pengalaman futuristik, teknologi canggih, kemudahan, dan glamor yang tidak mereka temukan di tempat lain. Sementara Eropa mengandalkan museum, katedral, dan sejarah, UEA menawarkan langit-langit kaca, taman bunga di tengah gurun, dan malam yang diisi pertunjukan cahaya di tengah kota yang tak pernah tidur.
Dampak Nyata Bagi Ekonomi UEA
Sektor pariwisata kini menyumbang lebih dari 12,4% terhadap GDP nasional. Lebih dari 700 ribu pekerjaan langsung tercipta di sektor ini. Bukan hanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi wajah baru UEA di panggung global. Lebih jauh, pariwisata berhasil membantu UEA mengurangi ketergantungan pada minyak, sekaligus mempercepat transformasi menjadi negara pusat ekonomi, budaya, dan teknologi di kawasan Timur Tengah.
Penulis bernama Shafna, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.
Editor : Amirah Nurlija Zabrina