Siraj Defara | DETaK
Darussalam- Universitas Syiah Kuala (USK) mulai memberlakukan sistem pembelajaran secara tatap muka sejak tanggal 15 Februari 2021. Namun sistem perkuliahan ini mengharuskan mahasiswa untuk hadir di kelas secara shift (bergantian) setiap dua pertemuan sekali dengan kuota maksimal 25 orang.
Pada pertemuan pertama mahasiswa dengan nomor absen 1-25 hadir di kelas sedangkan bagi mahasiswa bernomor absen 26-50 mengikuti pembelajaran secara daring, begitu juga pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hal ini tidak lain dilakukan untuk menerapkan protokol kesehatan sehingga bisa memutus rantai penyebaran virus corona di kampus.
Akan tetapi, sistem pembelajaran shift ini tidak sedikit mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan, salah satunya adalah dosen. Novi Susilawati, selaku dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) mengatakan bahwa sistem shift ini menjadi salah satu alternatif sehingga jika tidak diterapkan justru menimbulkan dampak negatif.
“Apakah shift memang hanya kelas luring saja tidak melibatkan daring? Nah, itu tentu akan kurang efektif karena tidak semua bisa hadir dalam ruangan yang sama. Nah, makanya ada opsi-opsi yang bisa kita lakukan selama perkuliahan daring ini salah satunya adalah walaupun shift tetapi kita juga akan menggunakan alternatif daring seperti itu. Jadi sebenarnya perkuliahannya tetap sama hanya saja di dua lokasi yang berbeda,” ungkap Novi saat hendak mengakhiri mata kuliah Sistem Sosial Budaya dan Politik Masyarakat Aceh.
Selain itu, Novi juga mengeluhkan berbagai kendala selama mengajar dengan menggunakan sistem perkuliahan saat ini.
”Kalau hambatan terkait dengan masalah jaringannya, itu sebenarnya hambatan utamanya, ya. Hambatan yang memang dialami oleh semua dosen maupun semua mahasiswa. Nah, karena masalah jaringan itu sangat krusial sekali karena bisa menghambat sistem pembelajaran kita, materi yang kita sampaikan jadi gak bisa diterima karena informasi atau karena disebabkan oleh jaringan,” ungkapnya.
Selain kendala jaringan, Novi beranggapan bahwa penggunaan masker saat berinteraksi di kelas membuatnya sulit mengenali wajah mahasiswanya.
“Kalau misalnya yang lain hal ada lebih kurangnya sendiri sih, kita gak bisa berinteraksi secara langsung dengan seluruh teman-teman mahasiswa. Kalau dulu, di dalam ruangan kita bisa langsung bertatap muka, berinteraksi dan menggunakan masker juga sebenarnya sedikit terhambat, ya. Jadi kita sulit mengenali wajah dari setiap mahasiswa kita, jadi saya juga kadang-kadang kalau misalnya mau melihat orangnya (mahasiswa) kadang saya harus tanya lagi namanya siapa,” sambung Novi.
Meski demikian, Novi tetap berharap meskipun proses perkuliahan dilakukan secara daring maupun luring, janganlah jadikan sebagai sebuah halangan bagi para dosen untuk mentransfer ilmu kepada para mahasiswa sehingga tujuan dari pembelajaran itu sendiri bisa tercapai.[]
Editor: Della Novia Sandra