Beranda Artikel Thailand Dijuluki Negeri Seribu Senyum, Kok Bisa?

[DETouR] Thailand Dijuluki Negeri Seribu Senyum, Kok Bisa?

BERBAGI
Ilustrasi. (M. Iqmal Pasha/DETaK)

Artikel | DETaK

Siapa yang ingin berkunjung ke Thailand nih? Pada tau gak selain Thailand dikenal dengan banyak hal makanan pedasnya yang menggoda, pantai-pantainya yang indah, budaya yang  unik, serta kuil-kuil Buddha yang megah. Tapi ada satu hal yang paling melekat dan membedakan Thailand dari negara lain, yaitu “Senyuman” . 

Kalau kamu melakukan perjalanan ke sana, kamu mungkin akan menyadari satu hal yang  paling menonjol dari masyarakatnya: senyum yang tak pernah absen dari wajah mereka. Entah sedang menjual makanan di pasar, melayani pelanggan di restoran, atau hanya sekadar  bersisian di jalan, orang Thailand dikenal dengan keramahan mereka yang tulus. Bukan tanpa  sebab, Thailand dikenal luas sebagai “Land of Smiles” alias Negeri Seribu Senyum. 

Iklan Souvenir DETaK

Julukan ini bukan sekadar strategi branding wisata atau sekadar kata manis di brosur pariwisata. Bagi masyarakat Thailand, senyum adalah bahasa yang paling penting dalam  kehidupan sehari-hari. Menariknya, senyum di Thailand bukan hanya satu ekspresi untuk  menunjukkan kebahagiaan, melainkan juga mewakili berbagai emosi dan situasi sosial. Inilah  yang membuat budaya senyum di Thailand unik dan patut dikagumi. 

Unik kan? Bahkan ya, sangking melekatnya budaya senyum di Thailand, ada beberapa nama julukan untuk senyum-senyum tersebut yang menggambarkan emosi.  

1. Yim thang nam jai (senyum tulus dari hati) 

2. Yim cheun chom (senyum memuji) 

3. Yim mai mee kwaam suk (senyum menahan kesedihan) 

4. Yim haeng (senyum kering, biasanya karena canggung) 

5. Yim sao (senyum sedih atau pasrah dan masih banyak lagi) 

Dengan kata lain, senyum di Thailand bisa menyampaikan rasa hormat, rasa malu, terima  kasih, kegembiraan, bahkan kekecewaan semua tanpa perlu banyak kata. Inilah bentuk  komunikasi non-verbal yang kuat dan menjadi perekat harmoni sosial di masyarakat Thailand. 

Nah, kok bisa ya? Ternyata budaya senyum ini melekat dengan ajaran dan filosofi  Budhhisme, yang menganggap senyum sebagai metta atau cinta kasih universal. Dalam  Buddhisme, menjaga harmoni dan menghindari konfrontasi adalah nilai utama. Maka dari itu,  senyum sering kali digunakan untuk meredakan situasi, menyampaikan empati, atau sekadar  menjaga suasana tetap damai. Maka tak heran, meskipun sedang menghadapi masalah atau  kesulitan, orang Thailand tetap bisa menampilkan senyum di wajah mereka. Bukan karena  mereka pura-pura bahagia, tapi karena mereka menghargai kedamaian batin dan hubungan  baik dengan orang lain. 

Dalam budaya Thailand, ramah adalah norma. Saat menyapa, saat mengucap terima kasih,  bahkan saat menolak tawaran pun, senyum tetap hadir. Ini membuat wisatawan yang datang  merasa disambut hangat dan nyaman.

Bahkan dalam pelayanan publik seperti di pasar, hotel, restoran, dan transportasi, kamu akan  sering bertemu orang-orang yang tetap tersenyum meskipun sedang sibuk atau lelah.  

Bagi Thailand, senyum bukan cuma kebiasaan, tapi juga identitas nasional. Dalam situasi apa  pun, senyum menjadi simbol kekuatan, kehangatan, dan ketangguhan bangsa. Bahkan ketika menghadapi masa-masa sulit seperti pandemi, kerusuhan politik, atau bencana alam masyarakat Thailand tetap dikenal dengan semangat pantang menyerah dan senyum yang tak  pernah luntur. 

Tak heran, Thailand menjadi salah satu destinasi wisata favorit dunia. Bukan hanya karena  keindahan pantainya, kelezatan kulinernya, atau kemegahan kuil-kuilnya, tapi karena  hangatnya sambutan dari orang-orangnya

Thailand mengajarkan kita bahwa senyum bukan hanya tentang kebahagiaan pribadi. Senyum  bisa menjadi simbol solidaritas, empati, penghormatan, dan kekuatan sosial. Di dunia yang  semakin cepat dan penuh tekanan, Thailand mengingatkan kita untuk melambat sejenak,  melihat sekitar, dan tidak lupa tersenyum. 

Karena bisa jadi, satu senyum sederhana, mampu mengubah hari seseorang. Dan di Thailand, senyum itu bukan barang langka ia adalah bagian dari hidup sehari-hari.

Penulis bernama Aisya Syahira, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Cut Irene Nabilah