Beranda Opini Kedatangan Rohingya: Dilema Rasa Kemanusiaan Bangsa Kita

Kedatangan Rohingya: Dilema Rasa Kemanusiaan Bangsa Kita

BERBAGI
Rahil Alya Fadhilah (AM)/(DETaK)

Opini | DETaK

Di Indonesia, gelombang kedatangan pengungsi Rohingya pada beberapa pekan lalu menyita perhatian banyak khalayak khususnya warga Aceh, dan juga adanya penolakan pengungsi ini oleh warga setempat yang menimbulkan spekulasi pro dan kontra. Kedatangan pengungsi ini termasuk yang terbesar sejak mereka menjadi korban kekerasan militer oleh Myanmar pada tahun 2017 silam. Mereka mendarat di beberapa wilayah di Aceh, diantaranya di Kabupaten Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie.

Penolakan pengungsi Rohingya oleh Warga Aceh banyak yang berspekulasi karena tidak tersedianya lagi tempat penampungan dan juga Masyarakat Aceh sudah merasa jera dengan kelakuan yang diciptakan oleh para pengungsi sebelumnya yang dinilai merepotkan dan tidak tahu diri, tidak menaati peraturan warga, sering kabur dari kamp pengungsian dan berbuat onar dengan tindakan kriminal.

Iklan Souvenir DETaK

Menurut data dari Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Aceh, terhitung sejak tanggal 14 hingga 21 November 2022, tercatat sebanyak 1.084 pengungsi Rohingya mendarat di beberapa wilayah Aceh dengan menggunakan perahu kayu seadanya. Pada 14 November 2023 mendarat Rohingya di Pidie sebanyak 194. Pada 15 November, mendarat di Pidie sebanyak 147 orang. Kemudian mendarat di Pidie pada 19 November sebanyak 232 orang, dan pada tanggal yang sama pengungsi Rohingya juga mendarat di bireuen sebanyak 256 orang dan sebanyak 39 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh Timur. Gelombang terakhir mendarat di Sabang sebanyak 219 orang pada 21 November, dan diperkirakan akan   ada gelombang susulan lagi di beberapa minggu kedepan.

Para pengungsi Rohingya ini merupakan salah satu etnis korban dari genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar yang berpuncak pada 2017. Rohingya sendiri merupakan etnis dengan minoritas muslim di Myanmar yang mendiami wilayah Rakhine. Menurut badan pengungsi PBB, The UN Refugee Agency (UNHCR), sumber masalah dari masyarakat Rohingya adalah karena mereka tidak di akui sebagai etnis resmi di Myanmar dan juga status kewarganegaraan yang telah ditolak sejak 1982, sehingga mereka menjadi etnis tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia. Puncak kekacauan di dalam etnis ini adalah ketika militer dan pemerintahan Myanmar melakukan pembantaian dan pengusiran paksa pada tahun 2017.

Menurut data dari UNHCR sejak tahun 1990-an kurang lebih 1 juta Masyarakat Rohingya terpaksa keluar dari Myanmar dan menjadi pengungsi di negara lain, dan terbesar di Banglades mencapai 90%, yang kemudian menjadi tempat pengungsian terbesar di dunia. Sisanya mencari peruntungan di negara tetangga lainnya. Namun tidak semua negara menerima mereka selalu dengan tangan terbuka, beberapa negara telah membatasi penampungan pengungsi Rohingya,ada beberapa penolakan yang dilontarkan oleh warga setempat dengan berbagai argument yang melatar belakangi nya.

Pada kasus penolakan imigran Rohingya ini di negara Thailand dan Malaysia memiliki latar belakang yang sama dengan penolakan di Aceh, yaitu mereka merasa jera dengan kelakuan beberapa pengungsi yang tidak menghormati aturan dari negara tuan rumah dan sering menimbulkan sifat kriminal yang merugikan warga setempat. Hal ini menjadikan dua negara ini sudah menutup jalan untuk pengungsi Rohingya masuk ke negara mereka. Akan tetapi dengan rasa kemanusiaan mereka tetap mengisi pembekalan untuk Rohingya sebelum dilepaskan Kembali untuk menuju tempan pengungsian selanjutnya.

Di Indonesia sendiri, penolakan kedatangan pengungsi Rohingya mendapat berbagai respon ada yang setuju d nada pula yang tak setuju. Ada yang berpendapat bahwa jangan sampai karena beberapa orang yang berperilaku buruk jadi merugikan para pengungsi lain dan menurunkan tingkat solidaritas kemanusian dengan umat seagama. namun banyak pula yang mendukung aksi penolakan ini karena kedatangan mereka dianggap banyak membawa dampak buruk bagi Indonesia.

Banyak pula yang mengkhawatirkan akan kedatangan pengungsi Rohingya ini dapat mengancam kedaulatan NKRI. Ditambah dengan temuan terbaru bahwa mereka ada yang terlibat dan korban dari sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebanyak 36 imigran Rohingya di Aceh timur dengan membayar sekitar Rp 15,5 juta untuk dapat diseludupkan ke indonesia. Dengan adanya temuan kasus ini memperkuat bahwa mereka dengan sengaja datang ke Indonesia.

Di dalam polemik ini banyak membuat Masyarakat khawatir apabila kasus pengungsi Rohingya ini tidak di tindak dengan tegas maka tidak menutup kemungkinan Nusantara kita menjadi palestina part II, melihat kasus di Malaysia bahwa imigran Rohingya disana menuntut pemerintah atas hak tanah yang ingin dimiliki oleh mereka.

Melihat fakta lain yaitu garis kemiskinan di Indonesia pada tingkat makanan di atas 70%, dengan masih banyak angka penduduk belum produktif dan sudak tidak produktif lagi yang harus berjuang untuk dapat membeli makanan dan menjadi tulang punggung untuk menyambung hidup keluarga mereka.

Sedangkan pada dasarnya Menteri luar negeri mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung para pengungsi

Lantas jika ceritanya sudah seperti ini, harus bagaimana kita menanggapinya. Akankah kita mengutamakan rasa kemanusian terhadap warga bangsa lain dan melupakan warga bangsa sendiri masih banyak yang hidup di taraf dibawah angka kemiskinan dan berjuang untuk menyambung hidup? Apa solusi yang tepat dilakukan agar kita dapat memberikan peran kemanusian pada kelompok yang tertindas dengan tidak mengabaikan hidup rakyat sendiri?

Penulis bernama Rahil Alya Fadhila, mahasiswi Jurusan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala (USK). Ia merupakan salah satu anggota magang DETaK

Editor: Aisya Syahira

.