Opini | DETaK
Sehubungan dengan adanya ancangan mengenai pembentukan Undang-Undang Dasar Mahasiswa (UUDM) Unsyiah, memantik sebuah pertanyaan sederhana berupa “Apa sebenarnya urgensi yang sedang dihadapi sehingga dibentuklah undang-undang dasar tersebut?”
Seperti yang dapat dipahami, bahwa konsep pemerintahan mahasiswa di dalam kampus diibaratkan seperti halnya sebuah organisasi kenegaraan. Namun dalam pelaksanaannya, tentu tidak sepenuhnya bisa sama persis seperti sebuah sistem ketatanegaraan yang memiliki norma-norma dasar sebagai landasan acuannya, yang biasa disebut dengan konstitusi.
Dalam hal ini berkaitan dengan Undang-Undang Dasar yang tertulis. Nah, itulah mungkin alasannya mengapa dibentuk UUD di dalam kampus jantong hatee rakyat Aceh ini. Hal ini sekilas memang indah untuk diimajinasikan, tetapi cenderung buruk untuk direalisasikan. Mengapa demikian?
Mari kita telaah sedikit isi UUDM itu berkaitan dengan sistem kelembagaannya di dalam pemerintahan yaitu lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kita sudah mengetahui bersama bahwa BEM merupakan lembaga eksekutif, dan dalam legislatif terdapat MPM dan DPM. Namun bagaimana dengan lembaga yudikatif? Saya sendiri terkejut ketika mendengar akan dibentuk lembaga tinggi Mahkamah Mahasiswa yang berwenang mengadili dalam ruang lingkup kostitusional.
Kita simulasikan bersama mengenai hierarki perundang-undangan mahasiswa yang telah disebutkan di dalam UUDM tersebut, bahwa semua peraturan perundangan yang berada di bawahnya harus sejalan dan tidak boleh bertentangan. Lalu tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada banyak judicial review yang diajukan dari berbagai AD/ART Fakultas yang telah menjadi konstitusi mahasiswa di lingkungan itu sebelumnya, untuk diuji di dalam mahkamah tersebut, karna telah dikatakan bahwasanya tatanan kemahasiswaan menganut prinsip kesatuan yang berarti hanya ada satu konstitusi di dalamnya.
Ini berarti bahwa UUDM dapat mengubah sistem tatanan kemahasiswaan yang sebenarnya tidak terdapat permasalahan sebelumnya, karena masing-masing Fakultas yang mengerti terhadap kondisi dinamika organisasinya, sehingga telah diatur di dalam AD/ART nya masing-masing. Mungkin, perancangan UUD ini lupa kalau dinamika politik mahasiswa Unsyiah tidaklah kaku, dan tidak pernah ada permasalahan yang serius terjadi karna fleksibilitas ini, serta konstitusi sendiri tidak harus diartikan sebagai Undang-Undang yang tertulis.
Lagi-lagi, pembentukan lembaga baru juga berarti terdapat wadah penampungan anggaran yang baru. Belum lagi di dalam peradilan konstitusi itu juga diperlukan hukum formal yang mengatur prosesnya, apakah hal itu sudah dipikirkan dengan matang?
Hal penting lain yang perlu diketahui, bahwa telah terdapat Ketetapan Rektor yang mengatur aturan berorganisasi di lingkungan kampus, lalu jika suatu saat terjadi problematika kehidupan organisasi mahasiswa kampus, aturan manakah yang menjadi rujukan? jikalau merujuk kepada UUDM, apakah UUDM tersebut sudah sejalan dengan Ketetapan Rektor? dan kalau tetap merujuk kepada Ketetapan Rektor lalu apa fungsi UUDM tersebut?
Pertanyaan tersebut membawa kita kembali ke pertanyaan awal, apa sebenarnya permasalahan darurat, sehingga perlunya pembentukan UUD ini? Tetapi, setidaknya kita harus menghargai UUDM ini, karena menjadi inovasi baru yang dilahirkan oleh lembaga legislatif kampus. Meskipun, apa gunanya sebuah inovasi jikalau pada kenyataannya tidak dibutuhkan dan malah menjadi mubazir. Mari kita semua memahami konsep mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai modal awal, dengan harapan agar tidak terciptanya permasalahan yang baru. Janganlah berharap menjadi beringin jika akar masih serabut.[]
Penulis bernama Fikri F.SKD. Ia merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Editor: Cut Siti Raihan