Artikel | DETaK
Pada hakikatnya manusia mengandalkan air, lahan, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat untuk menjamin keberlangsungan hidup secara berkelanjutan. Isu lingkungan yang berkaitan dengan bencana terdiri atas dua aspek, yaitu bencana ekologi yang disebabkan aktivitas alam, dan bencana alam yang disebabkan oleh campur tangan manusia. Isu lingkungan yang tadinya sebagai isu lingkungan berupa bencana ekologi, kini bergeser menjadi isu pembangunan dan politik serta ketidakadilan penguasaan pengelolaan karena dampak yang ditimbulkan kian masif dan mempengaruhi setiap lini kehidupan.
Sejak revolusi industri hingga kini, pembangunan telah mengabaikan dan mengubah kedudukan alam dari terra metter menjadi sumber keruk sehingga terjadilah penjarahan besar-besaran terhadap alam beserta isinya. Keegoisan dan hasrat untuk menguasai, mengeruk, mengeksploitasi, dan mendominasi menjadikan alam terus-menerus menanggung deritanya demi peningkatan pertumbuhan dan keuntungan para kapitalisme.
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang diinisiasi oleh Perempuan Peduli Leuser (PPL) pada Selasa, 01 Februari 2022, Rubama, aktivis lingkungan di Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan (HakA) menuturkan bahwa ketika kerusakan lingkungan terjadi, maka bencana akan terjadi.
“Ada yang sangat alami yang kita sebut bencana ekologis, ini seperti gempa, tsunami yang bukan campur tangan manusia. Tetapi ketika bencana alam, ini adalah manusianya yang menjadi penyebab, yang kita sebut misalnya banjir bandang tidak akan terjadi ketika tidak ada hutan yang botak, karena memang tidak ada penahan. Atau kemudian, kekeringan dikarenakan daya tampung penyesuaian ruang mengalami rusak ketika wilayah resapan digantikan dengan adanya paving block,” ucapnya.
Namun, sebenarnya di sisi lain rusaknya sumber-sumber kehidupan juga disebabkan karena hadirnya korporasi. Korporasi melihat bahwa sumber daya alam adalah komoditas yang selayaknya terus dieksploitasi tanpa menerapkan tata kelola yang baik. Sehingga tejadi ketimpangan antara politik dan ekonomi global dengan kesejahteraan masyarakat.
“Tentu berbicara korporasi apapun bentuknya membutuhkan ruang yang luas baik itu tambang, HGU, mapun HTI. Kita melihat korporasi difasilitasi oleh negara dan banyak kebijakan yang belum memihak kepada rakyat. Banyak sekali program dan kebijakan justru memihak kepada korporasi itu sendiri,” ucap Rubama.
Perempuan dan Alam dalam Sebuah Kesatuan
Fitri & Akbar (2017) dalam jurnalnya yang berjudul ”Gerakan Sosial Perempuan Ekofeminisme di Pegunungan Kendeng Provinsi Jawa Tengah Melawan Pembangunan Tambang Semen” menyebutkan bahwa upaya terhadap mendefinisikan perempuan seringkali diasosiasikan terhadap sifat-sifat alam. Terra Matter (Mother Earth). Bumi adalah perwujudan “Ibu Pertiwi”, simbolisasi ini menempatkan kedudukan bumi sebagai kerahiman yang penuh kasih. Ia menjadi pelindung isinya termasuk manusia di dalamnya.
Secara umum, perempuan memiliki pemahaman dan kemampuan akan pengelolaan sumber daya alam dan bagaimana mempertahankannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jika terjadi kerusakan lingkungan dan menjadi ancaman terhadap sumber daya alam, perempuanlah yang akan terkena dampak dan akhirnya bereaksi secara langsung. Sebagai contoh, perempuan yang tinggal di perkebunan kelapa sawit merasakan dampak kerusakan lingkungan yang muncul seperti kekeringan hingga pencemaran sungai sebagai sumber kehidupan masyarakat. Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga menyebabkan peralihan profesi perempuan yang awalnya sebagai petani menjadi buruh perkebunan.
Contoh lain adalah krisis air bersih di Desa Naga Umbang, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar. Sumur-sumur yang sebelumnya penuh dengan air, hari ini hanya tersisa tanah. Hal ini diduga karena kawasan Karst bagian hulu sebagai hidrologi (menyimpan air) sudah rusak. Saat desa mengalami krisis air dan sanitasi, perempuan menjadi kelompok yang paling menderita. Mereka kesulitan mengola rumah tangga dan urusan domestik seperti kebutuhan pangan, mencuci pakaian, mengurus anak, tanaman, dan ternak.
Ekofeminisme: Peran Perempuan dan Masa Depan Lingkungan
Shiva dan Mies dalam buku “Ekofeminisme: Gerakan Perempuan dan Lingkungan” sebagai kritik mereka terhadap proses globalisasi saat ini, yang mengatasnamakan modernisasi untuk kesejahteraan umum, akan tetapi dalam praktiknya adalah bentuk penindasan yang berbasiskan ekploitasi manusia dan sumber daya alam demi akumulasi modal.
Dalam hal ini, Shiva dan Mies bersepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir isu-isu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan pemeliharaan kehidupan, tidak hanya persoalan perempuan, anak-anak, dan umat manusia pada umumnya, tetapi juga berkait dengan makin hancur dan langkanya flora dan fauna di bumi serta kian membutuhkan perhatian khusus. Dan yang menjadi penyebab kehancuran dan ancaman kehidupan di muka bumi ini ialah sistem yang disebut “kapitalis patriarkal” dunia. Dalam perspektif kapitalis patriarkal ini, perbedaan diartikan sebagai hirarki dan keseragaman sebagai syarat kesetaraan.
Ekofeminisme juga berpendapat bahwa krisis lingkungan tidak hanya disebabkan oleh pandangan antroposentris, tetapi juga oleh dominasi kaum laki-laki. Fenomena rusaknya lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi besar-besaran tersebut membuat kaum perempuan resah akan tindakan dominasi (laki-laki) yang terlalu besar. Sehingga timbulah teori perlindungan alam oleh kaum perempuan yang dinamakan dengan teori ekofeminisme yang mendobrak etika antroposentisme yang mengutamakan manusia pada alam. Ekofeminisme memandang adanya suatu hubungan erat antara perempuan dan alam yang dilandaskan pada penindasan oleh kelembagaan yang patriarki dan peran laki-laki yang dominan, sebagaimana halnya identifikasi positif oleh perempuan dengan alam.
Perempuan dalam Mempertahankan Alamnya
Banyak sekali contoh gerakan perempuan dalam upaya mempertahankan agar alam yang ia tempati tetap seimbang. Misalnya, Gerakan Chipko di India pada tahun 1973 yang dilakukan oleh perempuan di India Utara dengan aksi memeluk pohon melawan para penebang hutan, sebagai bentuk protes untuk menghentikan eksploitasi hutan yang menjadi sumber ekonomi dan ekologi bagi mereka. Hasil yang diperoleh dari aksi ini adalah mendorong dirumuskannya undang-undang perlindungan hutan yaitu undang-undang konservasi hutan (1980).
Kemudian di Rembang, Jawa Tengah pada tahun 2016, aktivis perempuan yang dijuluki dengan “Kartini Kendeng” melakukan aksi mengecor kaki dengan semen untuk mendukung protes para petani dari Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Aksi penolakan para Kartini Kendeng dikarenakan Gunung Watuputih yang akan ditambang untuk memproduksi bahan baku semen tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu Cekungan Air Tanah (CAT) yang harus dilindungi. Jika pendirian industri tersebut tetap dijalankan, besar kemungkinan akan merusak sumber mata air di Pegunungan Kendeng dan berdampak buruk terhadap masyarakat.
Di Aceh, tepatnya di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah pada tahun 2015 menjadi catatan bersejarah bagi mereka karena desa tempat mereka tinggal diterjang banjir bandang dan menghancurkan sejumlah rumah warga. Rubama mengatakan bahwa masyarakat sekitar sadar ada kerusakan di hutan mereka tetapi mereka tidak mampu melarang para perambah yang merusak kawasan hutan. Pada posisi hukum mereka sama, tetapi dalam posisi merambah tidak ada yang bisa dilakukan. Sehinga pada waktu muncullah kebutuhan dan keinginan untuk megelola hutan di wilayah tersebut agar tidak rusak.
Rubama melakukan pendampingan kepada masyarakat Desa Damaran Baru, kemudian terbentuklah Communnity Patrol Team: Women Ranger/Mpu Uteun yang bertugas menjaga hutan di kawasan kaki Gunung Burni Telong agar tidak dirusak. Mpu Uteun ini merupakan ranger hutan perempuan pertama di Aceh yang memperoleh izin pengelolaan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui skema hutan desa.
“Ketika perambahan di hutan, pendekatatan kelompok perempuan berbeda, ketimbang pendekatan lelaki. Sampai hari ini Damaran Baru menjadi referensi, baik di Aceh maupun nasional bahwa ketika peluang dan akses yang sama diberikan kepada perempuan, tanpa ada batasan dan ketidakadilan gender ternyata kita lebih unggul,” pungkas Rubama.[]
Referensi:
Fitri, A.I. & Akbar, I. 2017. Gerakan Sosial Perempuan Ekofeminisme di Pegunungan Kendeng Provinsi Jawa Tengah Melawan Pembangunan Tambang Semen. Jurnal Ilmu Pemerintahan. 3(1) : 83-102.
Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism; Perspektif Gerakan Perempuan Dan Lingkungan. Y ogyakarta: IRE Press.
Penulis adalah Febby Andriani, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universias Syiah Kuala angkatan 2018. Ia juga merupakan anggota di UKM Pers DETaK USK.
Editor: Indah Latifa